Translate
Redaksi Tabuka News | 05 August 2025Pengelolaan dan Sertifikasi Tanah di Mimika Menjadi Sorotan, DPRD Serukan Solusi Adil

TIMIKA, TabukaNews.com - Masalah pengelolaan dan sertifikasi tanah di Kabupaten Mimika semakin kompleks dan berpotensi memicu konflik hal tersebut tentunya mendapatkan tanggapan dariAnggota DPRD Mimika, Anton A. Niwilingame.
Anton menekankan perlunya solusi yang mendasar dengan merujuk pada sejarah dan kesepakatan awal mengenai pembagian wilayah di daerah tersebut. Sebagai seorang anak adat setempat, ia menjelaskan panjangnya sejarah wilayah Mimika yang dulunya merupakan "negeri tak bertuan" dan dihuni oleh masyarakat Kamoro di sekitar pegunungan.
Kehadiran perusahaan besar, seperti Freeport Indonesia, ditambah dengan program transmigrasi pemerintah, telah mengubah peta demografi dan tata ruang di Mimika secara signifikan.
“Ayah kami dahulu telah mengikat batas-batas wilayah yang jelas: mana untuk masyarakat adat, mana untuk pemerintah, dan mana untuk perusahaan,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa penamaan wilayah seperti SP 1-13, Mile 21-74, dan SP 1-13 merupakan warisan dari pembagian yang telah dilakukan sebelumnya. Mimika, yang kini berkembang pesat, membutuhkan jumlah penduduk yang cukup untuk memenuhi syarat demokrasi.
Dirinya berpendapat bahwa program transmigrasi di wilayah seperti SP 12 dan Jalan Trans sesuai dengan cita-cita awal masyarakat untuk memajukan Mimika sebagai kota metropolitan. Namun, ia juga menyoroti masalah serius terkait dengan adanya sertifikat tanah ganda.
Menurutnya, praktik ini terjadi akibat pengukuran tanah yang tidak memperhatikan batas-batas adat dan sejarah. “Proses yang sering dilakukan adalah pengambilan peta dari udara, lalu menarik garis tanpa verifikasi lapangan, dan ini mengakibatkan munculnya sertifikat dobel,” paparnya.
Praktik tersebut menjadi pemicu konflik tanah, baik di antara masyarakat adat Papua sendiri maupun dengan pendatang dari luar Papua. Makelar tanah seringkali mengambil tanah hanya berdasarkan pandangan dari udara dan mengeluarkan sertifikat dobel.
Ia menambahkan bahwa masyarakat adat sering kali menjadi korban dalam sengketa ini.Niwilingame mendesak untuk segera mengambil langkah tegas dalam menghadapi masalah ini. Ia menyerukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemerintah Daerah Mimika untuk lebih cermat dan akurat dalam setiap penerbitan sertifikat tanah.
“Setiap sertifikat harus didasarkan pada data yang akurat dan verifikasi lapangan yang ketat, bukan hanya peta udara,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya melibatkan lembaga adat dalam proses pengukuran dan penerbitan sertifikat untuk memastikan keabsahan klaim tanah. Selain itu, sertifikat harus menghormati batas-batas yang telah disepakati sebelumnya melalui surat pelepasan hak adat yang jelas.
Ia mengingatkan pentingnya keadilan dan keadaban dalam pengelolaan tanah, menyerukan agar hak-hak masyarakat tidak dimonopoli. “Hak orang lain harus dihormati, kita harus hidup berdampingan,” serunya.
Dengan penuh harapan, ia menekankan bahwa Mimika adalah daerah yang dirindukan banyak orang. Untuk mewujudkan visi menjadi kota metropolitan yang damai dan maju, pengelolaan tanah yang adil, transparan, dan menghormati sejarah serta hak adat merupakan keharusan. Penerbitan sertifikat tanah, tegasnya, tidak boleh lagi menjadi sumber konflik baru. (Elis)