Translate

Redaksi Tabuka News | 06 March 2023

Aksi Solo Kejati Papua Digugat Kuasa Hukum Djamaluddin ke MK Dalam Perkara Hukum yang Mendera Plt. Bupati Mimika JR

Aksi Solo Kejati Papua Digugat Kuasa Hukum Djamaluddin ke MK Dalam Perkara Hukum yang Mendera Plt. Bupati Mimika JR

 

Timika, Tabukanews.com – Kuasa Hukum Plt. Bupati Mimika, M. Yasin Djamaluddin, SH, MH, mengajukan gugatan melawan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kejati dinilai sewenang-wenang dalam menangani perkara hukum yang melibatkan kliennya, Johannes Rettob dan Silvi Herawaty.

Kejati Papua dinilai melakukan aksi solo mulai dari penyidikan sampai ke pelimpahan berkas ke Pengadilan, mengabaikan hak Pembela Hukum bahkan sampai ‘menghanguskan’ hasil penyidikan dari POLRI dan KPK-pun tidak dipakai.

“Mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi Pasal 82 ayat (1) huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, karena M. Yasin Djamaluddin, SH, MH, yang merupakan kuasa hukum Tersangka Johannes Rettob, S.Sos, MM, dan Silvi Herawaty telah menjadi korban kesewenangan-wenangan Kejaksaan Tinggi Papua dengan keberadaan Pasal tersebut,” demikian rilisnya kepada media, Senin (06/03/2023).

Djamaluddin menjelaskan, ia berkeberatan Kejati Papua tidak mengindahkan proses langkah-langkah hukum, sehingga semena-mena langsung melimpahkan kasus kliennya ke pengadilan, padahal dirinya sedang mempersiapkan praperadilan.

“Perkara tersebut bermula, Johannes Rettob, S.Sos, MM, dan Silvi Herawaty ditetapkan sebagai Tersangka pada tanggal 25 Januari 2023 atas dugaan tindak pidana Korupsi dalam pengadaan pesawat terbang, dan penetapan tersangka tersebut tidak didasarkan bukti permulaan yang cukup, sehingga M. Yasin Djamaluddin, SH, MH, yang merupakan kuasa hukum Tersangka Johannes Rettob, S.Sos, MM, dan Silvi Herawaty mengajukan Praperadilan untuk menguji prosedur penetapan tersangka telah sesuai atau tidak,” sebutnya.

“Setelah mengetahui adanya Praperadilan tersebut, walaupun proses penyidikan belum selesai yaitu belum ada pemeriksaan saksi dan ahli meringankan, penyidik Kejaksaan Tinggi Papua langsung melimpahkan berkas perkara ke Penuntut Umum dan selanjutnya langsung dilimpahkan ke Pengadilan agar permohonan Praperadilan tersebut digugurkan sehingga Kejaksaan Tinggi Papua selamat dari proses penetapan tersangka tanpa bukti permulaan yang cukup,” bebernya.

Pelimpahan berkas ke Pengadilan oleh Kejati Papua, melangkahi 2 anak tangga proses hukum, sehingga Djamaludi merasa amat dirugikan dalam perkara hukum ini.

“Hal tersebut sangat merugikan M. Yasin Djamaluddin, SH, MH, selaku kuasa hukum pemohon Praperadilan karena telah menghilangkan hak Tersangka untuk menguji proses penetapan  tersangka yang benar sesuai dengan asas due process of law, sehingga Pasal 82 ayat (1) huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), harus ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi apabila Permohonan Praperadilan sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri, maka Pokok Perkara haruslah ditanggungkan sampai adanya putusan Praperadilan, agar prosedur, keadilan dan transparansi penegakan hukum berjalan dengan baik,” pintanya.

Lagi katanya, kasus perkara hukum yang menimpa Johannes Rettob dinilainya belum lengkap, namun dengan begitu cepat dilimpahkan ke Pengadilan dengan meloncati tahapan proses hukum.

“Bahwa kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, di sisi lain juga sebagai penuntut mengakibatkan tidak ada Checks and Balances, dalam proses penyidikan, sehingga sangat mudah untuk menyatakan berkas perkara lengkap dan dapat segera dilimpahkan,”

Semua kelengkapan proses hukum, hanya didominasi berada di satu tangan yaitu Kejaksaan. Sehingga Kuasa Hukum JR dan Silvi Herawaty berkeberatan proses hukum itu dilibas semuanya oleh satu pihak. Oleh karena itu ia mengajukan gugatan ke MK perihal Kejati Papua yang solo sejauh ini dalam perkara kliennya. Tidak ada keseimbangan hukum antara penuntut dan pembela perkasa itu.

“Kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut telah membuat kejaksaan menjadi lembaga yang sewenang-wenang dalam proses penyidikan karena yang melakukan penelitian kelengkapan berkas perkara adalah Kejaksaan juga, yang notabene adalah teman sendiri, dalam perkara Johannes Rettob, S.Sos, MM, dan Silvi Herawaty,”

“Hak tersangkapun diabaikan demi menggugurkan praperadilan, hal tersebut telah membuktikan Kejaksaan Tinggi Papua tidak siap dengan materi proses penetapan Tersangka, hanya siap dengan strategi menggugurkan praperadilan dengan cara melimpahkan berkas perkara, Tindakan tersebut sangat merugikan M. Yasin Djamaluddin, SH, MH, yang merupakan kuasa hukum Tersangka Johannes Rettob, S.Sos, MM, dan Silvi Herawaty,”

Dalam gugatan Kuasa Hukum JR, meminta penyidikan tidak memakai hasil Kejaksaan tapi memakai hasil penyidikan dari Polri dan KPK, sehingga ada keseimbangan hukum, bukan semua terpaku pada hasil kerja solo Kejaksaan.

“Supaya ada Checks and Balances dalam proses penyidikan dan menghilangkan kesewenang-wenangan Kejaksaan dalam proses penyidikan, maka kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu sebagaimana  Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia haruslah ditiadakan oleh Mahkamah Konstitusi karena sudah ada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang notabene adalah Penyidik,”

“Selain itu juga, untuk menghindari Dwi Fungsi kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut umum yang menjadikan jaksa bertindak sewenang-wenang dalam proses penyidikan dan untuk menghindari tumpang tindih penyidikan, maka Kejaksaan harus dikembalikan ke kewenangan yang hakikinya yaitu Penuntutan bukan Penyidikan,”

“Pasal 82 ayat (1) huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah merugikan M. Yasin Djamaluddin, SH, MH, terutama kliennya yang bernama Johannes Rettob, S.Sos, MM, dan Silvi Herawaty, karena pasal-pasal tersebut sering digunakan sebagai strategi untuk menggugurkan hak pencari keadilan terhadap kesewenangan-wenangan jaksa bukan hanya terjadi pada M. Yasin Djamaluddin, SH, MH, tapi ke orang banyak,”

“Oleh karena itu M. Yasin Djamaluddin, SH, MH, akan menguji Pasal 82 ayat (1) huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia di Mahkamah Konstitusi pada hari Senin 6 Maret 2023,” tutup rilisnya kepada media.(dzy)