Malaria Primadona Sakit Warga Mimika, total 37ribu Lebih Kasus di 15 kampung

Timika, Tabukanews.com – Sakit malaria masih menjadi penyakit primadona yang dialami warga Mimika. Dari data di tahun 2022 di 15 kampung di Kabupaten Mimika, totalnya berjumlah 37.884 kasus sakit malaria.
Di Kamoro Jaya terdapat 4.980 kasus, Pasar Sentral 4.810 kasus, Karang Senang 3.478 kasus, Kebun Sirih 2.893, Wonosari Jaya 2.631, Nawaripi 2.332 kasus, Kwamki 2.191 kasus, Timika Jaya 2.144 kasus, Pioka Kencana 2.127 kasus, Fanamo 2.031 kasus, Wangirja 1.838 kasus, Bhintuka 1.831 kasus, Wanagon 1.782 kasus, Sempan 1.438 kasus, dan di Inauga sebanyak 1.378 kasus sakit malaria.
Demikian dikatakan dokter Enny Kenangalem dari YPKMP, saat menjadi narasumber di acara Sosialisasi Penanganan Penyakit Malaria dan Stunting Distrik Miru, yang digelar di Grand Tembaga Hotel, Jalan Yos Sudarso, Kamis (08/06/2023).
Kegiatan yang melibatkan para lurah dan 75 orang ibu-ibu kader PKK Distrik Miru itu dibuka secara resmi oleh Asisten 1 Setda Mimika, Paulus Dumais didampingi Kepala Distrik, Dedy Paokuma dan Sekretaris PKK Endang Letsoin serta jajaran pejabat lainnya.
“Malaria masih menjadi angka kesakitan tertinggi di Mimika. Dari seribu orang ada 200 orang yang terkena malaria. Sekarang jumlah penduduk di Mimika sudah 300 ribu lebih, kita bisa kalikan saja,” katanya.
Menurut Enny, pola minum obat teratur dan tuntas menjadi kunci utama kesembuhan pasien. Bila pasien tidak melakukannya, maka dijamin malaria akan kambuh kembali dalam jangka waktu tertentu.
“Malaria tersiana jadi masalah karena pasien minum obat tidak tuntas. Orang kalau sudah merasa sehat, tidak minum obat 14 hari, obat coklat primaquine. Tuntas minum obat, itu kuncinya supaya tidak terjadi kekambuhan,” ajaknya.
Sementara itu materi dari narasumber, Kabid Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Mimika, Lenny Silas, mengungkapkan di Mimika paling kurang ada 371 anak menderita stunting.
Dari 13 kelurahan dan kampung di Distrik Miru yang anak-anaknya diperiksa ke Posyandu dengan total sebanyak 10.356 anak, ternyata 371 orang anak mempunyai masalah gangguan pertumbuhan atau menderita stunting.
Lenny menjelaskan, di kelurahan/kampung Hangaitji, terdapat 2 anak stunting dari 162 anak yang diukur, lalu di Kebun Sirih ada 68 anak stunting dari 981 anak yang diperiksa di Posyandu.
Kemudian Koperapoka menjadi yang terbanyak anak stunting, yaitu dari 1660 anak diukur di Posyandu, 111 anak di antaranya menderita stunting.
Selanjutnya di Kwamki Baru ada 53 anak stunting dari 1388 anak yang diperiksa, di Minabua hanya 2 anak stunting dari 218 anak. Nayaro terdapat 36 anak stunting dari 149 anak ke Posyandu. Nayaro menjadi yang terbesar persentasinya yakni 24,16 persen.
Di Otomona ada 67 anak stunting dari 901 anak, di Pasar sentral ada 11 anak stunting dari 1391 anak diperiksa, di Perintis ada 4 orang anak stunting dari 541 anak, di Sempan terdapat 5 anak stunting dari 857 anak diperiksa.
Di Timika Indah ada 7 anak dari 926 anak, Timika Jaya ada 3 anak stunting dari 715 anak, dan Wanagon hanya ada 2 anak stunting dari 467 orang anak yang diperiksa di Posyandu setempat.
Menurutnya, stunting bukan faktor keturunan atau genetika tapi bisa dicegah dengan pemberian nutrisi yang memadai bagi anak, sejak dalam kandungan.
“1.000 (seribu) hari kehidupan anak, sejak dari dalam kandungan sudah harus diperhatikan. Sampai anak mencapai masa dua tahun merupakan waktu krusial untuk tumbuh kembang anak yang maksimal,” ujarnya.
Lagi katanya, bagi anak yang sudah terlanjur stunting, maka dianjurkan para orang tua untuk memperbaiki pola makan, dengan memberikan protein lebih. Protein hewani diklaimnya lebih baik dari yang nabati, seperti daging atau telur yang mudah didapat dan murah.
“Selama ini kita kasih PMT karbohidrat terus, kacang hijau. Protein yang terbaik adalah dari hewani. Akan membentuk tinggi badan dan kecerdasan anak. Kacang hijau bagus juga tapi lebih bagus protein yang hewani. Seperti telur, yang murah. Mereka punya jajan Rp5.000 daripada ciki-ciki, beli saja telur dua butir, makan pagi dan sore, agar anak tumbuh normal menjadi generasi pelanjut kita,” sebutnya.
Lenny menjelaskan banyak orang menganggap remeh stunting dengan alasan karena faktor genetika keturunan orang tua. Padahal hal itu bisa dicegah di masa 1.000 hari pertama kehidupan anak.
“Stunting bukanlah penyakit. Tapi pertumbuhan anak yang tidak normal itu membuat anak rentan terkena sakit. Kita harus tangani, apalagi kalau kita bisa cegah,” tandasnya. (Manu)