BABINGUNG! SAKSI AHLI KEJATI PAPUA HANYA KUASAI 1 DOKUMEN SUDAH KLAIM SEMUA LEMBAGA DECLARE KERUGIAN NEGARA

Jayapura, Tabukanews.com – Seorang ahli seharusnya mempunyai banyak referensi bacaan dan sering menelaah berbagai dokumen Negara dalam rangka memperluas keahliannya.
Yang terjadi justru lawak! Di Sidang Praperadilan kasus yang mendera Plt. Bupati Mimika, Johannes Rettob (JR), saksi ahli Kejati Papua, Abdul Rofiek, malah nampak linglung (kebingungan) saat dicecar pertanyaan terkait keahliannya, di Sidang Praperadilan Plt Bupati Mimika versus Jaksa di PN Tipikor Jayapura, Senin (14/03/2023).
Seperti yang disaksikan awak media, Abdul yang mengaku Ahli Keuangan Negara dari BPKP Perwakilan Papua itu beberapa kali terlihat bingung menjawab pertanyaan hakim dan kuasa hukum JR.
Terhadap sejumlah pertanyaan yang menyangkut keahliannya, Abdul malah menjawab "saya tidak tahu, saya belum baca,” atau “Itu bukan keahlian saya."
Yang parahnya lagi, dari ratusan dokumen pengadaan pesawat dan helikopter, Abdul mengaku hanya membaca satu dokumen.
Abdul juga menyatakan, semua lembaga yang melakukan perhitungan keuangan negara dapat men-declare kerugian tanpa berkoordinasi dengan BPK. Hal itu jelas tidak sesuai aturan.
Menanggapi hal itu, Tim Kuasa Hukum Pemohon, Marvey Dangeubun, kepada wartawan mengatakan ada dua saksi yang ditampilkan Termohon (Kejaksaan Tinggi Papua) adalah satu dari BPKP dan satu saksi lainnya pernah bekerja di BPK, namun sudah pensiun dini.
“Satu hal yang kita permasalahkan saksi pertama (Abdul Rofiek). Dia mengatakan bahwa baik BPK maupun BPKP, Inspektorat dan bahkan Akuntan Publik bisa menghitung keuangan negara dan dia (saksi-red) katakan bisa mendeclare dan menyerahkan kepada aparat penegak hukum sebagai satu temuan dan itu adalah kerugian negara,” terangnya.
Padahal menurut Marvey di dalam Pasal 10 Ayat 1 UU No.25 Tahun 2006 tentang BPK, secara jelas mengatakan bahwa boleh badan lain menghitung atas fungsi delegasi yang diberikan BPK kepada badan tersebut. Dengan pertimbangan kalau BPK pada saat itu tidak mempunyai waktu atau sumber daya yang tersedia/terbatas. Maka bisa saja melakukan kewenangan delegative yakni memberikan kewenangan misalnya kepada BPKP, Inspektorat maupun Akuntan Publik yang mempunyai keahlian di bidang itu, untuk menghitung kerugian negara.
Akan tetapi harus melaporkan hasilnya tersebut kembali kepada BPK RI sebagai Lembaga yang satu – satunya mempunyai kewenangan sesuai UU untuk melakukan declare terhadap hasil kerugian negara tersebut.
“Ini kan pemahaman yang sesat. Saksi mengatakan dia ahli keuangan, namun dia (saksi termohon-red) berusaha menafsirkan Putusan MK yang penafsirannya keliru. Kenapa, karena putusan MK ini, saya membaca betul di halaman 53 Putusan MK No.31 tahun 2012 itu mengatakan jelas bahwa menurut MK, KPK boleh saja berkoordinasi dengan instansi lain. Misalnya BPKP, Inspektorat atau bahkan Akuntan Publik untuk memperjelas perkara yang sementara ditanganinya (KPK),”paparnya.
Lanjut dia, sebenarnya pasal yang merupakan hasil Yudicial Review dari Pasal 6 UU KPK, sehingga lahirlah pertimbangan hukum itu. “Jadi sebenarnya pertimbangan hukum itu dia tidak bersifat Erga Omnes artinya tidak berlaku untuk semua aparat penyidik hukum. Dia hanya berlaku kepada KPK. Dia tidak berlaku pada Penyidik Kejaksaan dan Kepolisian,”
Menurutnya saksi ahli Termohon memberikan interprestasi terhadap itu. Lalu lahirlah pandangan saksi bahwa semua bisa menghitung kerugian negara. “Ini jelas bertentangan dengan aturan. Bertentangan dengan UU BPK sendiri. Satu – satunya Lembaga resmi yang bisa mendeclare hasil kerugian negara adalah BPK. Tidak ada badan lain. Silahkan Termohon berpendapat, tetapi kami berbeda pandangan soal ini,” tandasnya.(dzy)